EDISI I – DIFTERI
DIFTERI
Difteri merupakan penyakit infeksi yang sangat menular yang disebabkan kuman Corynebacterium diphtheria. Penyakit ini sangat berbahaya karena dapat menyebabkan kematian karena sumbatan pada saluran napas, infeksi dan kerusakan pada otot jantung (miokarditis), kelainan susunan saraf pusat dan ginjal akibat adanya zat beracun yang dikeluarkan oleh kuman tersebut (eksotoksin).
Penyakit difteri ditularkan melalui percikan ludah (droplet) penderita yang mengandung kuman C. diphteriae saat bersin, batuk, muntah, melalui alat makan, atau kontak langsung dari luka di kulit.. Penularan dapat terjadi tidak hanya dari penderita saja, namun juga dari karier (pembawa) baik anak maupun dewasa yang tampak sehat kepada orang-orang di sekitarnya.
Setelah terpapar kuman, penderita tidak seketika menunjukkan gejala penyakit tersebut. Dibutuhkan waktu 2-5 hari hingga gejala dan tanda difteri muncul.
Gejala difteri sama dengan infeksi saluran napas akut bagian atas, yaitu nyeri tenggorok, nyeri menelan, demam tidak tinggi (kurang dari 38,5º C), batuk, sesak napas atau sama seperti flu. Perbedaannya adalah adanya tanda khas berupa bercak putih keabu-abuan tebal di tenggorokan (pseudomembrane) yang sulit dilepas dan mudah berdarah bila diangkat. Pada keadaan lebih berat dapat ditandai dengan kesulitan menelan, sesak nafas, suara kasar dan keras saat bernapas seperti mengorok (stridor) dan pembengkakan leher yang tampak seperti leher sapi (bullneck).
Difteri tidak hanya terjadi pada saluran napas atas (farings, tonsil, laring) tapi dapat juga terjadi pada hidung dan kulit.
Kejadian penyakit difteri tidak terbatas usia. Semua pasien dari berbagai kalangan, baik anak-anak, usia muda dan tua menunjukkan gejala yang sama. Meskipun demikian anak-anak usia 5-9 tahun paling rentan mengalami penyakit ini.
Apabila tidak diobati dan penderita tidak mempunyai kekebalan, angka kematian adalah sekitar 50 %, sedangkan dengan terapi angka kematiannya sekitar 10% (CDC Manual for the Surveilans of Vaccine Preventable Diseases, 2017). Angka kematian difteri rata-rata 5–10% pada anak usia kurang 5 tahun dan 20% pada dewasa (diatas 40 tahun) (CDC Atlanta, 2016).
Karena mudahnya penularan difteri dan angka kematian yang cukup tinggi maka deteksi dini, penanganan yang segera dan pencegahan terhadap penyakit difteri sangat penting dilakukan.
Bila penderita menunjukkan gejala-gejala yang disertai tanda yang tampak seperti tanda khas difteri (pseudomembrane), sebaiknya segera dilakukan pemeriksaan oleh dokter karena memerlukan tekhnik pemeriksaan khusus. Diagnosis difteri berdasarkan gejala dan tanda klinis.
Pemberian suntikan Anti Difteri Serum (ADS) harus segera diberikan bila telah terdeteksi difteri untuk mencegah penyebaran zat beracun dari kuman C. diphteriae. Sebelumnya dilakukan terlebih dahululu tes hipersensitivitas terhadap ADS dengan uji kulit.
Selain itu pemberian terapi antibiotika Penicillin prokain selama 14 hari untuk mematikan kuman C. diphteriae harus segera dilakukan tanpa menunggu hasil laboratorium (biakan kuman dari apus/swab tenggorok).
Penderita dirawat tersendiri di ruang khusus sampai tidak menular yaitu 48 jam setelah pemberian antibiotika. Keluarga, penunggu/pengasuh, ataupun petugas kesehatan yang kontak dengan penderita harus menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) sesuai standar.
Bila terdapat sumbatan jalan napas maka perlu dilakukan tindakan khusus berupa trakeostomi yaitu tindakan pembedahan darurat untuk membuat lubang pada leher hingga mencapai trakea untuk memasukkan tabung/selang agar udara dapat masuk ke paru-paru sehingga penderita dapat bernapas dengan baik.
Monitor terhadap komplikasi difteri dilakukan berkala. Pengobatan diberikan bila terdapat gejala komplikasi miokarditis, gangguan saraf atau ginjal.
Setelah penderita pulang dan dinyatakan sembuh (hasil biakan kuman 3x negatif) harus tetap dipantau Dinas Kesehatan dan melengkapi imunisasinya sesuai usia. Penderita yg mendapat ADS harus di imunisasi lengkap 3 kali setelah 4-6 minggu dari saat ADS diberikan.
Untuk memutuskan rantai penularan, seluruh anggota keluarga serumah atau orang disekitar penderita yang terjadi kontak maka diberikan pengobatan pencegahan dengan antibiotika Erytromisin selama 7 hari dengan dilakukan pengawasan munculnya gejala dan tanda difteri.
Pencegahan difteri yang paling efektif adalah dengan memberikan imunisasi secara lengkap baik imunisasi dasar maupun lanjutan (booster), yaitu sebagai berikut :
- Imunisasi dasar : bayi usia 2, 3 dan 4 bulan diberikan vaksin DPT-HB-Hib dengan interval 1 bulan.
- Imunisasi lanjutan :
- Anak usia 18 bulan diberikan vaksin DPT-HB-Hib 1 kali.
- Anak Sekolah Dasar kelas 1 diberikan vaksin DT pada Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS).
- Anak Sekolah Dasar kelas 2 dan 5 diberikan vaksin Td pada Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS).
- Wanita Usia Subur (termasuk wanita hamil) diberikan vaksin Td.
Perlindungan optimal terhadap difteri dapat dicapai apabila cakupan imunisasi dasar maupun lanjutan tinggi dan merata. Cakupan minimal 95%, merata di setiap kabupaten/kota, dan tetap dipertahankan. Adanya individu atau kelompok balita yang tidak diimunisasi lengkap akan menyebabkan menurunnya cakupan imunisasi dan kekebalan populasi/komunitas balita di daerah tersebut.
dr. Tri Kartika Setyarini, MSi.Med, SpA